SISIPUS: DALAM BAYANG-BAYANG TUHAN Karya ARIFIN C. NOOR
oleh: Restu Kurniawan
Eksistensi serta melakukan kontinuitas kerja rutin dan terus-menerus
sudah menjadi sesuatu hal yang manusiawi. Namun ketika itu harus dituangkan
dalam sebuah proses penggarapan pementasan teater, siapakah Sisipus sebenarnya?.
Manusia disibukkan dengan segala macam aktifitas duniawai yang semuanya
membutuhkan ekstra pemikiran serta kecakapan dalam menentukan sikap atau
strategi yang matang. Manusia harus siap menerima apapun bentuk penderitaan
dengan harus tetap memikirkan rahasia di balik penderitaan yang sedang
dialaminya itu.
Diskursus kali
ini mengenai penggarapan naskah “Dalam Bayang-Bayang Tuhan” karya Arifin C.
Noor yang diejawantahkan oleh seorang sutradara bersama komunitasnya. Ada beberapa hal yang
menarik sekiranya perlu menjadi sebuah sorotan penting bagi kita semua. Melirik
tentang bagaimana Sisipus sebagai tokoh mitos dalam dongeng Yunani di mana ia
harus mendorong batu ke atas bukit terjal, namun sesampainya di puncak ia
justeru harus menggelindingkan kembali dan setelah itu ia pun harus
mendorongnya kembali. Terus-menerus. Suatu hukuman karena Sisipus pernah
pemberontakan kepada para dewa.
Benda menjadi media non-verbal.
Tidak menutup
kemungkinan benda itu adalah benda hidup yang menjadi media non-verbal.
Mengenai ini sudah pernah dijelaskan oleh Mary Douglas & Isherwood dalam
The World of Goods. Dijelaskan di situ bahwa kebanyakan dari manusia selalu
membuat makna dari benda-benda disekelilingnya. Jika dikaitkan dengan proses
kreativitas ber-kesenian yang dilakukan seorang sutradara, berarti ia
mempergunakan media benda hidup yang dibangun melalui landasan naskah (dalam
hal ini naskah: Dalam Bayang-Bayang Tuhan. Karya: arifin C. Noor), yaitu
keaktoran dari pemainnya melalui tahapan waktu, digarap dengan sepenuh hatinya.
Keaktoran ini dapat dikatakan sebagai media non-verbal.
Benda yang ada
disekeling sutradara tentulah aktor. Itulah satu-satunya media non-verbal untuk
menceritakan derita Sisipus. Melalui aktor, sutradara ingin menegaskan
identitasnya sebagai apa, siapa dan dari mana ia akan memulai kreatifitas tersebut.
Benda yang dimiliki begitu seragam: watak, fisik, dan variasi permainan
kadang-kadang sama. Keseragaman tidak mungkin menciptakan makna, apalagi komunikasi.
Seperti huruf “a” tak memiliki makna jika tetap dalam himpunan huruf yang sama,
kebermaknaan muncul jika “a” berada dalam perbandingannya dengan huruf-huruf
lain. Dibuatlah watak, atau sifat yang memberi identitas dari keseragaman yang
tak tertolak itu. Lewat watak atau sifat yang dimainkan aktor maka telah
membangun identitas sutradara sebagai seorang seniman teater.
Iterferensi Sutradara dan Naskah “Dalam Bayang-Bayang Tuhan”.
“Tidak cukup hanya hidup,
kita harus memiliki kepastian tanpa harus menunggu kematian”, ucap Camus ketika memaknai Sisipus. Bagi
Camus, manusia sejati adalah manusia yang mau membuat sejumlah
kepastian-kepastian temporal yang dengan demikian manusia bisa bahagia walaupun
ia terjebak melakukan pekerjaan yang berulang-ulang. Sutradara yang melaju
berkesenian di dalam ruang dan waktu yang itu-itu saja barangkali sebuah upaya
menjemput kepastian-kepastian yang menjadi tujuan penyutradaraannya. Dengan
menjalani hidup dalam perulangan, sutradara bisa memberi makanan batin aktor dan
calon penonton untuk bahagia walaupun keasikan melakukan kontinuitas kerja
demikian begitu terkesan mengharukan.
Dalam Bayang-Bayang Tuhan
merupakan sebuah naskah karya Arifin C. Noor yang bercerita tentang dua manusia
yang memiliki satu kesatuan sifat. Namun
dalam naskah digambarkan berbeda oleh Arifin C. Noor secara ruang dan
kesempatan bagaimana masing-masing tokohnya menikmati hidup. Tokoh Direktur
Utama sebagai simbol sisipus dari dalam ruang yang berkecukupan secara materi,
sedangkan Sandek adalah simbol sisipus dari dalam ruang keperihatinan hidup.
Namun keduanya memiliki dua sifat sama yang dimiliki oleh sisipus. Niscaya
penonton seharusnya diberikan untuk memaknai sendiri tentang pementasan
tersebut, namun kenyataannya ending yang ditawarkan melalui dialog sandek
dengan kata kunci Sisipus menjadi pengantar pola pemikiran penonton
memasuki ruang gerak filsafat yang ditawarkan Arifin C. Noor. Keasikan sutradara menjadi sisipus itu sendiri
justru menjadi ranjau bagi dirinya, karena pementasan yang diberikan kepada
penonton menjadi mubah hukumnya. Sisipus barangkali bisa bahagia karena bisa
membuktikan pada dewa-dewa bahwa ia tidak mengeluh menerima hukuman. Sutradara
lebih bahagia lagi, karena ia melakukan aktifitas perulangan bukan untuk
melecehkan para dewa, mereka berkesenian untuk mata berbinar aktor dan
penonton. Namun sutradara bisa mengalami kesepian yang lebih tajam ketimbang
Sisipus, jika sutradara harus ditinggalkan aktor, penonton atau kesenian yang
digelutinya (jauh, jauh dan semakin lama menghilang). Jika malam tiba, dan
kantuk memberat, bayangan aktor mungkin muncul dengan senyuman dan segelas
kehangatan. Tetapi di depan panggung, di tengah perjalanan berkesenian,
bayangan itu hanya ilusi. Yang ada adalah bentuk panggung dengan segala pirantinya,
dan sesekali pementasan yang digarap sutradara lain membayanginya.
Jika pemikiran
yang demikian itu, artinya sutradara diharap bukan hanya mampu menjadi sisipus
bagi dirinya sendiri. Yang terpenting adalah menawarkan pembelajaran tentang
bagaimana sisipus melakukan aktifitas, serta perjalanan menikmati prosesnya
kepada aktor dan penonton.
Restu Kurniawan
Penikmat Seni Teater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar